Hubungi Kami
Informasi Publik dan Pengaduan Masyarakat bisa menghubungi Call Center JAMDATUN 0811229484

JPN Menghadiri Sidang Pengujian UU Pemberantasan Tipikor, Ahli Pemerintah Sebut UU Tipikor Jadi Bridging Article dan Blanket Provision dalam Penegakan Hukum Tipikor
Oleh Admin | Rabu, 01 Oktober 2025

JAMDATUN UPDATE - Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Agung RI selaku Kuasa Pemerintah menghadiri Sidang Pengujian Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan agenda Mendengarkan Keterangan Ahli dan Saksi dari Presiden yang bertempat di Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat pada hari Rabu, 01 Oktober 2025. 

Sidang yang berlangsung di Ruang Sidang Pleno Gedung MK ini dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Dr. Hendro Dewanto, S.H., M.Hum. selaku Saksi dari Presiden, serta Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H., M.Si. dan Dr. Vidya Prahassacitta, S.H., M.H. selaku Ahli dari Presiden dalam perkara Pengujian Undang-Undang Register Nomor 123/PUU-XXIII/2025 tentang Pengujian Materiil atas Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 

Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) merupakan ketentuan blanket provision yang merujuk pada undang-undang lain yang secara tegas menyatakan pelanggaran terhadap ketentuannya sebagai tindak pidana korupsi. Sehingga karakteristik dari norma ini memberikan fleksibilitas dalam penerapan hukum anti-korupsi.

Lebih jelas Ahmad Redi menjelaskan bahwa pendekatan blanket provision merupakan respons terhadap kompleksitas dan dinamika modus operandi korupsi yang terus berkembang, melampaui definisi tradisional korupsi. Selain itu, metode ini memberikan fleksibilitas signifikan bagi aparat penegak hukum dengan memungkinkan integrasi pelanggaran dari berbagai peraturan perundang-undangan sektoral. Sehingga hal ini dapat memperluas jangkauan pemberantasan korupsi, misalnya dengan mengintegrasikan pelanggaran undang-undang perbankan, lingkungan, kehutanan atau pasar modal.

“Dengan demikian, Pasal 14 UU Tipikor memungkinkan hukum anti-korupsi beradaptasi dengan cepat terhadap bentuk-bentuk korupsi yang inovatif dan tersembunyi, yang belum diatur secara spesifik dalam UU Tipikor itu sendiri. Integrasi ini dimaksudkan untuk menciptakan koherensi dalam penegakan hukum dan mencegah fragmentasi dalam penanganan kasus korupsi sektoral,” ujar Redi.

Pasal Penghubung

Di samping itu, Redi juga menerangkan bahwa Pasal 14 UU Tipikor berfungsi sebagai "Pasal Penghubung" yang mengintegrasikan UU Tipikor dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang sektoral lainnya. Bahkan norma ini memastikan perbuatan pidana yang diatur dalam undang-undang sektoral, namun memiliki elemen koruptif atau berpotensi merugikan keuangan negara, dapat dijerat di bawah payung hukum UU Tipikor dengan sanksi yang lebih berat.

Kasus tindak pidana korupsi sektor kehutanan menjadi studi kasus krusial dalam memahami urgensi Pasal 14 UU Tipikor, yang tidak hanya menyoroti kerugian negara yang masif tetapi juga menegaskan bagaimana pasa ini menjadi instrumen hukum vital. Norma ini dinilai oleh Redi, dapat menghubungkan pelanggaran kehutanan dengan unsur korupsi yang memuat adanya penyalahgunaan wewenang dan kerugian keuangan negara. Tanpa Pasal 14 UU Tipikor, penjeratan pelaku kejahatan hanya akan terbatas pada sanksi pidana kehutanan yang mungkin tidak mencerminkan tingkat kerugian negara yang masif.

“Pencabutan Pasal 14 UU Tipikor akan berimplikasi serius terhadap efektivitas penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam memerangi korupsi lintas sektor, menimbulkan kelemahan fundamental dalam kerangka hukum pemberantasan korupsi. Kesimpulannya, kesesuaian Pasal 14 UU Tipikor dengan prinsip-prinsip bridging article dan blanket provision menegaskan bahwa pasal ini tidak bertentangan dengan UUD 1945, bahkan justru memperkuat penegakan hukum dan menjunjung tinggi asas legalitas,” terang Redi.

Jaminan Perlindungan dan Kepastian Hukum

Kemudian Ahli Presiden berikutnya, Vidya Prahassacitta menjelaskan bahwa permasalahan pada Pasal 14 UU Tipikor terjadi karena undang-undang khusus lainnya dinilai tidak pernah secara tegas menyatakan pelanggaran dalam undang-undang tersebut sebagai bagian dari tindak pidana korupsi, meskipun perbuatan konkret yang dilarang tersebut memiliki perbuatan yang sejenis dengan perbuatan yang termuat UU Tipikor.

Diterangkan oleh Vidya bahwa pada Pasal 14 UU Tipikor memuat norma tentang asas lex specialis systematis yang mendasari pembentukan norma dan rumusan pasal dalam undang-undang. Dalam memahami asas ini harus dilihat dengan saksama sistem hukum yang ada. Artinya, sambung Vidya, di tengah permasalahan banyaknya undang-undang sektoral yang menempatkan pelanggaran administratif sebagai tindak pidana namun asas ini tetap berlaku. Konsep gabungan tindak pidana atau perbarengan tindak pidana yang juga memuat asas lex specialis systematis dalam KUHP WvS maupun KUHP 2023 dan telah memberikan penyelesaian terhadap konflik hukum dengan memberikan perlindungan terhadap jaminan akan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaku.

“Oleh karenanya, untuk membatasi kewenangan otoritas negara agar terhadap hak konstitusi warga diberlakukanlah asas lex specialis systematis dalam Pasal 14 UU PTPK. Gagasan untuk mendahulukan UU Tipikor terhadap perbuatan korupsi yang merugikan keuangan negara dengan menggunakan modus operandinya, tidak lepas dari tujuan utama untuk mengembalikan kerugian negara dan bukan semata-mata untuk memberikan hukuman yang berat karena undang-undang khusus sektoral lainnya juga menerapkan pidana yang berat. Dengan demikian, Pasal 14 UU Tipikor tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena diartikan sebagai asas lex specialis systematis,” terang Vidya.

Penanganan Perkara Tipikor Lintas Sektoral

Adapun Saksi Presiden dalam keterangannya menceritakan bahwa pada 2022 sampai dengan 2024 telah menjabat sebagai Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI. Selama menjabat sebagai Direktur Penuntutan, ia bersama jajaran Penyidik dan Penuntut Umum tindak pidana khusus telah menangani perkara tindak pidana korupsi lintas sektoral.

Dikatakan bahwa penyidikan ataupun penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan RI berfokus pada pemulihan kerugian negara. Keberadaan Pasal 14 UU PTPK sebagai salah satu extra serious measure pemberantasan tindak pidana korupsi. Fungsinya sebagai jembatan yang menjamin konsistensi dalam penegakan hukum pidana korupsi lintas sektoral.

“Dan penguatan asas ultimum remedium yang memastikan tidak ada pelaku tindak pidana korupsi terbebas dari perbuatannya dengan dalih perbuatan yang dilakukan adalah pelanggaran yang diatur di luar UU Tipikor, sedangkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara sudah nyata terjadi,” ucap Hendro.

Infografis Kejaksaan

Tweeter Kejaksaan

Instagram Kejaksaan

Polling

Statistik Pengunjung

Hari ini : 476 Pengunjung
Bulan ini : 44.255 Pengunjung
Tahun ini : 558.454 Pengunjung