Hubungi Kami
Informasi Publik dan Pengaduan Masyarakat bisa menghubungi Call Center JAMDATUN 0811229484

JPN Menghadiri Sidang Pengujian UU Pemberantasan Tipikor, Pemerintah: Tak Ada Kebutuhan Konstitusional Beri Makna Baru Pasal 21 UU Tipikor
Oleh Admin | Rabu, 01 Oktober 2025

JAMDATUN UPDATE - Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Agung RI selaku Kuasa Pemerintah menghadiri Sidang Pengujian Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR atas nama Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H. dan Keterangan Presiden atas nama Dr. Leonard Eben Ezer Simanjuntak, S.H., M.H. yang bertempat di Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat pada hari Rabu, 01 Oktober 2025. 

Kepala Badan Diklat Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak yang mewakili Presiden di persidangan mengatakan Pemerintah menilai tidak ada kebutuhan konstitusional untuk memberi makna baru pada Pasal 21 UU PTPK. Hal ini disampaikan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Register Nomor 136/PUU-XXIII/2025 tentang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Norma ini sudah tepat sebagai rambu proses yang adaptif terhadap modus korupsi yang berkembang, tetap tunduk pada asas legalitas, dan bergantung pada pembuktian yudisial. Dengan demikian, permintaan agar Pasal 21 UU PTPK diberi makna baru tidak berdasar,” ujar Eben Ezer.

Dia menjelaskan, berdasarkan teori process crimes dan due administration of justice, kebijakan kriminal antikorupsi, penafsiran sistematik dan teleologis atas UU PTPK, referensi doktrin nasional, tipologi lintas negara, serta praktik peradilan yang konsisten membedakan pembelaan sah dari penghalangan proses, Pasal 21 UU PTPK adalah norma pemberantasan perkara korupsi yang melindungi integritas proses penegakan hukum korupsi. Dengan demikian dalil Pemohon bahwa Pasal 21 UU PTPK bukan pasal pemberantasan perkara korupsi adalah mengada-ada.

Menurut dia, gagasan Pemohon untuk menafsirkan secara kumulatif frasa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak sejalan dengan ratio legis delik. Perlindungan proses peradilan bersifat melindungi setiap tahap secara berdiri sendiri sebagai objek perlindungan. Membuatnya kumulatif akan membuka celah pembelaan bahwa pelaku hanya mengganggu satu tahap, padahal kerusakan pada satu fase saja dapat menggagalkan keseluruhan proses dan meniadakan kebenaran materiil (bandingkan dengan pendekatan Pasal 25 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang melindungi saksi, alat bukti, dan tugas peradilan tanpa membatasi pada tahapan tertentu; UU 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC7).

Rujukan historis Pemohon pada tradisi contempt of court Anglo Saxon, Halsbury’s8, maupun praktik Belanda sekitar Pasal 184 WvS tidak menempatkan Pasal 21 UU PTPK sebagai antitesis negara hukum. Sejarah itu menunjukkan bahwa hukum modern konsisten memidana penghalangan proses peradilan. Perbedaan teknik perumusan apakah daftar tertutup/rambu-rambu atau klausul berorientasi akibat adalah pilihan kebijakan kriminal dalam ruang kebebasan pembentuk undang-undang sepanjang dibatasi rambu asas-asas fundamental. Pasal 21 UU PTPK memilih desain berorientasi akibat dengan mens rea yang dibuktikan melalui pembuktian niat, pengetahuan atas proses, dan hubungan kausal cukup presisi untuk memenuhi asas kepastian sekaligus cukup luwes untuk mencegah pengelakan.

Sebagai klarifikasi dalam koridor keberatan Pemohon, Pemerintah menegaskan bahwa permintaan penambahan frasa secara melawan hukum tidak diperlukan, karena sifat melawan hukum telah teruji dalam mekanisme pembuktian kesengajaan dan dalam rezim alasan pembenar atau pemaaf menurut doktrin umum hukum pidana. Di sisi lain, kekhawatiran kriminalisasi profesi yang bertindak dengan itikad baik juga tidak beralasan karena Mahkamah Konstitusi telah menegaskan tidak hilangnya imunitas advokat sepanjang berada dalam koridor hukum dan profesionalisme.

Dengan demikian menurut Pemerintah, dari sudut pandang teori negara hukum, koherensi sistemik perundang-undangan, standar due process, komitmen internasional, dan pembelajaran komparatif yang justru dikemukakan Pemohon sendiri, Pasal 21 UU PTPK adalah instrumen konstitusional yang memperkuat Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Norma a quo menjaga agar proses peradilan perkara korupsi terbebas dari perintangan dalam bentuk apa pun, selama unsur kesengajaan dan keterkaitan kausalnya dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan di hadapan pengadilan.

Pasal a quo tidak menimbulkan ketidakpastian hukum berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945 karena ukuran konstitusional “kepastian hukum” dalam Pasal 28D ayat (1) tidak menuntut rumusan pidana yang menutup seluruh kemungkinan modus, melainkan menuntut norma yang dapat dipahami maknanya oleh warga berakal sehat dan dapat diterapkan secara konsisten oleh penegak hukum. Doktrin lex scripta, lex certa, dan lex stricta terpenuhi ketika suatu delik menyebut subjek hukum, sikap batin, perbuatan yang dilarang, dan objek perlindungan secara jelas. Pasal 21 UU PTPK memenuhi keempatnya: subjek “setiap orang”, sikap batin “dengan sengaja”, perbuatan “mencegah, merintangi, atau menggagalkan”, serta objek “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” terhadap pelaku dan saksi perkara korupsi. Dengan konstruksi demikian, warga dapat menilai terlebih dahulu apakah tindakannya berisiko menghalangi proses, dan aparat memiliki parameter pembuktian yang terukur.

Menimbang dasar konstitusional, teori delik dan asas legalitas, rambu due process of law, sejarah pembentukan undang-undang, kewajiban internasional, praktik pembuktian, serta kebutuhan riil pemberantasan korupsi, asal 21 UU PTPK merupakan instrumen yang sah, jelas, dan proporsional untuk melindungi peradilan dari sabotase, oleh karena itu dalil Pasal 21 UU PTPK tidak bertentangan dengan cita negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Materi Muatan dalam Pasal 21 UU PTPK tidak Inkonstitusional karena penerapannya tidak membuka peluang penyalahgunaan dan bertentangan dengan hak konstitusional individu yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 24 ayat (1), serta Pasal 28F UUD 1945.

Infografis Kejaksaan

Tweeter Kejaksaan

Instagram Kejaksaan

Polling

Statistik Pengunjung

Hari ini : 476 Pengunjung
Bulan ini : 44.255 Pengunjung
Tahun ini : 558.454 Pengunjung