JAMDATUN UPDATE - Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Agung RI selaku Kuasa Pemerintah menghadiri Sidang Pengujian Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan agenda Mendengar Keterangan Ahli Pemerintah yang bertempat di Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat pada hari Kamis, 28 Agustus 2025.
Sidang yang berlangsung di Ruang Sidang Pleno Gedung MK ini menghadirkan Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H., M.Si dan Prof. Dr. Suparji, S.H., M.H. dalam perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) nomor 71,106/PUU-XXIII/2025 tentang Pengujian Materiil atas Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang PTPK Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang PTPK dan Pasal 1 Angka 1, dan Pasal 6 Huruf e UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap UUD Negara RI 1945.
Pengajar Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur Jakarta sekaligus Direktur Kolegium Jurist Institute Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H., M.Si mengatakan perkembangan teknologi dan kompleksitas sistem sosial politik telah menciptakan berbagai cara baru untuk menghambat proses penegakan hukum yang mungkin tidak dapat dijangkau jika hanya menggunakan konsep “langsung”. Dia menyebutkan salah satunya dengan penggunaan media sosial (medsos) atau platform digital lainnya untuk menyebarkan informasi yang dapat mempengaruhi opini publik dan berpotensi mempengaruhi proses peradilan atau penggunaan teknologi enkripsi untuk menyembunyikan bukti-bukti terkait korupsi.
“Kita pernah mendengar tagar, izin Yang Mulia, pernah mendengar tagar Indonesia Gelap, ternyata ketika dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan ini bagian dari upaya menghalang-halangi, merintangi, dan menggagalkan tindak pidana korupsi atas berbagai perkara misal kasus timah dan lain-lain,” ujar Redi.
Dia mengatakan hal tersebut terungkap dalam proses penyelidikan dan penyidikan hingga ada yang ditetapkan tersangka. Para tersangka pun mengakui membuat tagar Indonesia Gelap untuk melakukan provokasi di media sosial, menyerang pribadi jaksa, serta pejabat-pejabat di Kejaksaan Agung sebagai tindakan menghalang-halangi dan pelemahan penindakan tindak pidana korupsi.
“Jadi, informasi yang mempengaruhi opini publik, Indonesia Gelap itu terpengaruh publik, informasi mengenai Jampidsus abcde, yang kemudian diviralkan, digoreng terus melalui media-media sosial,” tutur Redi.
Dia melanjutkan, mereka yang menghambat upaya penegakan hukum pidana korupsi tersebut tidak bisa ditindak jika frasa “tidak langsung” dalam Pasal 21 UU Tipikor ditiadakan sebagaimana kehendak Pemohon. Menurutnya, frasa "tidak langsung" memiliki efek pencegahan (deterrence) terhadap upaya-upaya untuk menghambat proses penegakan hukum dalam perkara korupsi.
Dengan adanya ancaman pidana yang tegas terhadap perbuatan yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses hukum dalam perkara korupsi, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, diharapkan dapat mencegah pihak-pihak yang berniat untuk menghambat proses penegakan hukum. Berdasarkan analisis dampak, frasa "tidak langsung" dalam Pasal 21 UU Tipikor memiliki dampak yang positif dan signifikan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Penghapusan frasa tersebut berpotensi mengurangi efektivitas pemberantasan korupsi dan menciptakan celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menghambat proses penegakan hukum dalam perkara korupsi,” kata Redi.
Dia mengatakan frasa "tidak langsung" dalam Pasal 21 UU Tipikor, meskipun memiliki cakupan yang luas, memiliki makna yang cukup jelas dalam konteks hukum. Secara gramatikal, "tidak langsung" berarti melalui perantara atau tidak secara langsung. Dalam konteks Pasal 21 UU Tipikor, ini berarti perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses hukum yang dilakukan melalui cara-cara yang tidak langsung atau melalui perantara.

Upaya Pemberantasan Korupsi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Prof. Dr. Suparji, S.H., M.H. mengatakan Pasal 1 angka 1 serta frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 6 huruf e UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) justru merupakan instrumen perlindungan kepastian hukum terhadap upaya pemberantasan korupsi berupa upaya merintangi atau menghambat proses hukum pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menurut dia, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara komprehensif, efektif, dan tuntas, karena korupsi tidak berdiri sendiri, melainkan sering melibatkan tindak pidana lain sebagai pendukung, pelengkap, atau cara menyamarkan hasil korupsi. Sehingga pemberantasan korupsi bukan hanya menindak pelaku tindak pidana korupsinya saja melainkan juga menyasar pelaku tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi seperti upaya merintangi penyelidikan, penyidikan, penuntutan maupun persidangan tindak pidana korupsi.
Pengaturan mengenai tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1, Pasal 6 huruf e UU KPK , Bab II, dan Bab III UU Tipikor menjadi dasar kepastian hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi bagi aparat penegak hukum, khususnya KPK, dan juga masyarakat dalam menjamin efektivitas pemberantasan korupsi, memutus mata rantai korupsi yang dilakukan secara terorganisir dan sistemik, mengatasi kejahatan korupsi dalam jaringan yang luas, mencegah tidak adanya pertanggungjawaban hukum (impunitas) bagi pihak-pihak yang menghambat pemberantasan korupsi, dan konsistensi dengan prinsip UNCAC. Frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 huruf e UU KPK tidak boleh dimaknai secara sempit sebatas tindak pidana korupsi pada Bab II UU Tipikor karena sebaliknya akan menimbulkan kekosongan hukum dan ketidakpastian hukum dalam upaya pemberantasan korupsi secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan yang menjadi tujuan awal dibentuknya KPK sebagaimana amanat Pasal 43 UU Tipikor.
Sebagai informasi, Pasal 21 UU Tipikor menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus limpa puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)” dan Penjelasannya: Pasal 21 Cukup jelas.
Pemohon menilai frasa “atau tidak langsung” pada rumusan norma pasal beserta penjelasannya yang diuji tersebut berpotensi menjerat setiap warga negara yang menyuarakan opini publik atau melakukan kontrol sosial melalui media massa, seminas, diskusi kampus, demonstrasi, konferensi pers, dan lain-lain. Jika suara publik dianggap oleh penyidik dengan berdasarkan penilaian subjektif penyidik ‘menghalangi penyidikan, penuntutan, dan persidangan’ karena secara tidak langsung mempengaruhi proses hukum pada aparat penegak hukum, maka akan ada ancaman terhadap kebebasan dan rasa aman dalam berekspresi. Padahal konstitusi menegaskan kebebasan menyampaikan pendapat dan rasa aman dalam berekspresi merupakan elemen penting dalam negara demokrasi.
Sidang kali ini juga sekaligus terkait pengujian materiil Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam Perkara Nomor 106/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Idalorita Daeli (Pemohon I), Haerul Kusuma (Pemohon II), dan Andika Firmanta Sitepu (Pemohon III). Para Pemohon mengatakan KPK bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Namun terhadap tindak pidana lain dalam lingkup tugas tersebut sejauh yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, KPK sesungguhnya tidak diberi tugas secara sah, spesifik, dan jelas oleh undang-undang. Akan tetapi KPK bertindak melaksanakan tugas dimaksud seolah-olah memiliki dasar tugas dan kewenangan yang sah menurut undang-undang.
Menurut para Pemohon, KPK hanya bertugas menindak Tindak Pidana Korupsi yang diatur pada Bab II Tindak Pidana Korupsi yang terdiri atas 22 (dua puluh dua) pasal, yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Dengan demikian hal ini merupakan bukti nyata kesewenang-wenangan, abuse of power atau excess of power yang secara sengaja dilakukan oleh lembaga penegak hukum. Sehingga hal tersebut bertentangan dengan nilai negara hukum yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 serta menjadi preseden buruk dalam sistem penegakan hukum di Indonesia, dan oleh karenanya harus dihentikan.

Infografis Kejaksaan
Tweeter Kejaksaan
Instagram Kejaksaan
Polling
Statistik Pengunjung
Hari ini : 476 PengunjungBulan ini : 44.255 Pengunjung
Tahun ini : 558.454 Pengunjung