JAMDATUN UPDATE - Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Agung RI selaku Kuasa Pemerintah menghadiri Sidang Pengujian Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan agenda Pengucapan Putusan yang bertempat di Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat pada hari Kamis, 28 Agustus 2025.
Dalil Tak Didukung Bukti, Uji Syarat Kesehatan Jaksa Tidak Dapat Terima
Sidang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan Amar putusan terhadap perkara ini, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Pertimbangan hukum Mahkamah menyatakan dalil Pemohon tidak didukung bukti kuat. Pemohon juga tidak melampirkan keterangan medis yang membuktikan dirinya mengalami buta warna parsial. Dengan demikian, klaim adanya kerugian hak konstitusional dinilai tidak terbukti.
“Uraian Pemohon tidak didukung dengan alat bukti yang kuat yang menunjukkan kesehatan jasmani dan rohani berkenaan keberlakuan norma Pasal 9 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 yang menentukan syarat sebagai jaksa salah satunya sehat jasmani dan rohani. Dalam kaitan ini Pemohon tidak menunjukkan keterangan dokter yang membuktikan Pemohon benar mengalami buta warna parsial,” ujar Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum MK.
MK juga menilai yang dipersoalkan Pemohon sesungguhnya bukan norma dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f UU Kejaksaan, melainkan aturan turunan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Jaksa Agung. Karena itu, tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian yang didalilkan dengan norma undang-undang yang diuji. “Oleh karena itu uraian kedudukan hukum Pemohon berkenaan dengan anggapan kerugian hak konstitusional yang dialaminya tidak memiliki hubungan sebab akibat atau causal verbant dengan berlakunya Pasal 9 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 yang menurut tanggapan Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil tidak ada kesempatan yang sama dalam Pemerintahan serta diskriminatif,” lanjut Suhartoyo.
Sebelumnya, Pemohon menguji frasa “sehat jasmani dan rohani” dalam ketentuan tersebut, yang dinilainya multitafsir dan berpotensi diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, khususnya penderita buta warna parsial. Dalam permohonannya, ia mengaku keinginannya menjadi jaksa terhambat akibat diagnosis buta warna parsial yang dianggap tidak memenuhi syarat kesehatan jasmani dan rohani.
Pemohon menjelaskan bahwa buta warna parsial secara medis tidak mengganggu fungsi biologis tubuh, ketajaman penglihatan, maupun kesehatan mental. Menurutnya, pemaknaan yang sempit terhadap syarat kesehatan dalam rekrutmen jaksa membuka ruang diskriminasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Lebih lanjut, Pemohon menilai bahwa syarat tersebut tidak rasional karena tidak terdapat hubungan logis dan proporsional antara kondisi buta warna parsial dengan fungsi esensial seorang jaksa. Profesi jaksa, menurut Pemohon, tidak bekerja secara isolatif dalam memeriksa barang bukti, melainkan berkolaborasi dengan berbagai pihak berwenang dalam sistem peradilan pidana.
Atas dasar tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “sehat jasmani dan rohani” dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mencakup pula penyandang buta warna parsial.
Petitum Pemohon Uji Penyitaan Aset Kontradiktif
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan pengujian Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Permohonan diajukan oleh Iwan Ratman.
Pertimbangan hukum putusan yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo menyatakan, petitum Pemohon tidak jelas dan menimbulkan kontradiksi. Pemohon meminta agar Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Namun, rumusan pemaknaan bersyarat yang diajukan justru saling bertentangan antara satu dengan lainnya.
“Artinya, rumusan petitum yang dimohonkan untuk dimaknai secara bersyarat terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor tersebut dengan banyak pilihan tanpa mencantumkan kata atau pada pemaknaan yang satu dengan pemaknaan yang lainnya mengakibatkan kerancuan atau saling bertentangan di antara pemaknaan petitum dimaksud. Dengan demikian, Mahkamah tidak dapat memahami pemaknaan petitum sesungguhnya yang dikehendaki oleh Pemohon berkenaan dengan norma Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor tersebut.,” ujar Suhartoyo.
Sebelumnya, dalam permohonannya, Iwan menilai ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor berpotensi merugikan hak konstitusionalnya, terutama terkait penyitaan harta yang tidak terbukti berasal dari tindak pidana korupsi. Ia menyoroti ketentuan ini kerap diberlakukan terhadap aset yang tidak berkaitan dengan kejahatan, bahkan milik pihak ketiga yang tidak terlibat, seperti istri dan anak.
“Pemohon menjalankan pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, Pemohon mengalami kerugian konstitusional langsung akibat penyitaan terhadap harta yang tidak terbukti berasal dari tindak pidana korupsi, termasuk milik pihak ketiga yang tidak terlibat dan beritikad baik,” ujar Iwan dalam persidangan perdana di MK, pada Jumat (1/8/2025).
Lebih lanjut, Iwan menyebut Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor membuka ruang bagi penyitaan terhadap harta yang diperoleh sebelum terjadinya tindak pidana, serta tidak memberikan batasan yang jelas antara pidana pokok dan pidana tambahan. Menurutnya, hal ini berpotensi menimbulkan pemidanaan berlapis atau double punishment, yakni pidana tambahan berupa uang pengganti (asset recovery) dan pidana badan sekaligus, tanpa mekanisme pembatasan yang proporsional.
“Ketentuan ini tidak memberikan batas yang jelas antara pidana pokok dan pidana tambahan. Akibatnya, terjadi penyitaan terhadap harta yang bukan hasil tindak pidana dan bukan pula milik terpidana,” tegasnya.
Pemohon juga menilai penerapan ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan, asas ultimum remedium, serta asas proporsionalitas dalam pemidanaan. Ia meminta agar Mahkamah menafsirkan Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor secara konstitusional agar tidak digunakan sebagai dasar penyitaan terhadap harta yang tidak terbukti berasal dari kejahatan dan bukan milik pelaku.
Dalam petitumnya, Iwan meminta MK menyatakan Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang dimaknai dapat diterapkan terhadap harta milik pihak ketiga yang beritikad baik atau harta yang tidak terbukti secara sah berasal dari tindak pidana korupsi.
Iwan juga memohon agar ketentuan tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), kecuali dimaknai bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan terhadap harta yang terbukti secara sah dan meyakinkan berasal dari tindak pidana korupsi. Selain itu, pidana tambahan berupa uang pengganti tidak boleh dikenakan bersamaan dengan pidana badan kecuali jika terbukti bahwa pelaku menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatan.

Infografis Kejaksaan
Tweeter Kejaksaan
Instagram Kejaksaan
Polling
Statistik Pengunjung
Hari ini : 476 PengunjungBulan ini : 44.255 Pengunjung
Tahun ini : 558.454 Pengunjung